Dua tokoh perempuan beda generasi bertutur soal isu penyelamatan lingkungan. Seorang Poppy Susanti Dharsono (58) mencemaskan efek penggurunan dengan contoh dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Seorang lainnya, yaitu Inayah Wulandari (27), menandaskan secara politis mengutip almarhum ayahnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu ”sekalipun negara berdaulat jika tidak memerhatikan lingkungan sama saja tidak berdaulat”.
Keduanya memang dikenal publik. Tetapi, bukan karena aktivitas pembelaan lingkungan mereka. Ketika mereka berbicara, ini menandakan bahwa kerusakan lingkungan sudah membuat gerah setiap orang, apa pun profesinya.
Poppy dikenal malang melintang dalam hal perancangan busana. Ia sekarang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2009-2014 daerah pemilihan Jawa Tengah. Pada Jumat (8/1) lalu ia menggelar konferensi pers sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik setelah menjalani masa reses ke Jawa Tengah, wilayah konstituennya, antara 11-31 Desember 2009.
Poppy meresahkan prediksi, 10 tahun ke depan dataran tinggi Dieng akan berubah menjadi gurun. Ia tidak langsung menukik pada persoalan penghutanan kembali Dieng. Tetapi, meminta pemerintah agar segera merevitalisasi bangunan-bangunan arkais peninggalan Mataram Hindu di Dieng. ”Pemerintah harus menengok Machu Picchu (kota Inca yang hilang) di Peru,” ujar Poppy.
Machu Picchu, tatanan kota arkais peninggalan suku Inca di Peru yang kini menjadi satu di antara tujuh keajaiban dunia yang baru.
”Tidak mustahil banyaknya candi Hindu di Dieng menjadi pesona wisata masa lalu, seperti Machu Picchu. Candi-candi itu peninggalan wangsa Syailendra abad VIII. Itu berpotensi menjadi ’Machu Picchu’-nya Indonesia,” kata Poppy.
Charlie Chaplin singgah
Revitalisasi tempat bersejarah di Dieng diharapkan bisa memberikan pendapatan baru dari sektor pariwisata. Ekonomi masyarakat setempat diharapkan membaik. Lalu, masyarakat tidak lagi bertumpu pada hidup bercocok tanam di lahan yang semestinya dijaga sebagai hutan. ”Pada tahun 1920-an Charlie Chaplin (1889-1997) pernah singgah ke Dieng. Tentunya Dieng dulu sangat indah,” ujar Poppy.
Memulihkan hutan dan merevitalisasi potensi keekonomian lainnya yang bersifat otentik lokal dan unik, menurut Poppy, pada akhirnya akan menunjang daya saing pada era perdagangan bebas di negara-negara ASEAN-China seperti sekarang.
Berikutnya, Inayah. Ia hadir sebagai salah satu narasumber forum Pandangan Lingkungan 2010 (Environmental Outlook 2010) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta Media Center (JMC).
Kehadirannya sekaligus mewakili keluarga besar Gus Dur. Ia diundang untuk menyaksikan prosesi penobatan almarhum ayahnya sebagai pejuang penyelamat lingkungan oleh Walhi.
Pada kesempatan berbicara, Inayah tidak menyampaikan apa saja yang sudah dilakukan Gus Dur demi penyelamatan lingkungan. ”Kita bisa googling (mencari informasi dari situs internet) kalau ingin melihat kebijakan beliau semasa menjadi presiden,” ujar Inayah.
”Saya hendak menyampaikan hal-hal yang tidak pernah diketahui publik mengenai Gus Dur,” kata Inayah.
Dia mengutarakan, almarhum ayahnya memiliki perhatian terhadap keteraturan hal-hal kecil. ”Seperti ritual pagi setelah mandi, biasa memakai obat ketek sebelum menyisir rambut. Ketika ada ajudan yang keliru menyampaikan sisir dulu sebelum obat ketek, Gus Dur tidak akan menerima sisir itu. Gus Dur akan diam saja sampai diberikan obat ketek sesuai yang biasa dilakukan,” ujar Inayah.
Berangkat dari keteraturan hal-hal kecil, Gus Dur memegang prinsip-prinsip hal besar, seperti mengenai kedaulatan suatu bangsa. Negara berdaulat yang tak mampu memerhatikan isu lingkungannya sama saja tak berdaulat.
Resolusi 2010
Isu melawan fenomena penggurunan dilontarkan Poppy. Isu menegakkan kedaulatan bangsa dengan memerhatikan lingkungan disampaikan Inayah. Kedua hal itu segaris dengan resolusi 2010 yang ingin dikejar Walhi, yaitu revolusi ekologi.
Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Forqan menyampaikan, revolusi ekologi untuk mewujudkan keadilan ekologi, reformasi agraria sejati, dan industrialisasi nasional. Revolusi ekologi untuk menghadang kepentingan segelintir pemilik modal yang mengeruk sumber daya alam kita dan merusak lingkungannya.
Seperti berlangsung di Dieng sekarang. Keadilan ekologi sulit terwujud akibat reformasi agraria sejati tidak berlangsung. Lahan petani
tidak ditopang tata ruang yang tegas. Lahan petani kian tergusur. Petani terpaksa mendobrak tatanan ekologi, seperti menciutkan, bahkan membabat habis hutan yang ada sebagai pengganti sawah-ladang mereka.
Penggurunan di Dieng mengundang gagasan menghadirkan ”Machu Picchu” Indonesia melalui tatanan candi kuno yang tersisa dari Kerajaan Mataram Hindu abad VIII nan eksotis. Tujuan akhirnya sama dengan revolusi ekologi, yaitu menyelamatkan lingkungan Dieng yang kian merana.
Mampukah pemerintah mencernanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar