Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (23/12/2009) di Jakarta.
Thomas mencatat beberapa musim dingin yang minim salju terkait dengan kondisi Matahari aktif dan sebaliknya musim dingin bersuhu ekstrem di Bumi terkait dengan Matahari tenang, yaitu sedikit hingga tanpa adanya bintik Matahari.
Menurut pemantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan, penurunan kejadian bintik Matahari mulai terlihat sejak 2000.
Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak-tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terbentuk dari aktivitas massa magnet yang terpelintir atau berpusar di perut Matahari hingga menembus permukaan.
Bintik hitam Matahari itu berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi. Akibat munculnya bintik Matahari, suhu gas di fotosfer dan kromosfer di atasnya dapat naik sekitar 800 derajat celsius dari normal. Hal itu mengakibatkan gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan gas di sekelilingnya.
Di atas bintik Matahari, yaitu di daerah kromosfer dan korona juga dapat terjadi badai Matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.
Cuaca Bumi
Lonjakan massa gas bersuhu tinggi ini tidak hanya memengaruhi magnet Bumi, tetapi juga cuaca di atmosfer Bumi, lanjut Thomas, pakar astronomi dan astrofisik. Kondisi Matahari juga berefek pada intensitas curah hujan di Indonesia.
Data Lapan menunjukkan ada kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Secara global, efek aktivitas Matahari mengemisikan gas rumah kaca, terutama CO. Akibatnya, iklim ekstrem dapat lebih sering terjadi dengan intensitas yang cenderung menguat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar